SEHARUSNYA ITU AKU karya Ni Luh Andhi Rika Suarningsih

 


                Brakkk!!!, aku yang sedang duduk di sofa karena kelelahan. Tiba-tiba terkejut dengan sesuatu yang baru saja terjadi di depanku. Lalu aku menoleh ke arah seseorang di depanku, yang tidak lain adalah ayahku.

“Pah ada apa ?”, tanya Grita.

“Apa kau tidak merasa membuat kesalahan Grita ?”, tanya Papa Grita.

“Apa kesalahanku pah ?”, tanya Grita dengan pelan.

“ Cepat masuk ke kamarmu !”, kata papa Grita dengan membentak.

“ Baik pah.” kata Grita sedih.

Keosokan harinya di meja makan Grita dan keluarganya makan bersama. Aku ragu bertanya dengan Papa, apa yang ingin dia katakan semalam. Saat aku pulang dari les.

“Grita Mama nggak liat kamu semalem, apa kamu pulang telat ?”, tanya Mama Grita dengan pelan.

“Iya mah, kemarin aku pulang telat.”, kata Grita dengan mengangguk.

“Ohh baiklah, mari kita makan. Mama mau manggil si Brayen dulu ya.”, kata Mama Grita penuh pengertian.

Tiba-tiba Brayen datang menghampiri meja makan. Semua anggota keluarga lalu duduk di kursi masing-masing. Grita mencoba mengajak Brayen untuk pulang sekolah siang ini. Tetapi Brayen tidak ingin pulang bersama Grita, dengan alasan ia akan pulang malam. Setelah itu Grita mencoba meminta Brayen untuk mengajaknya pulang bersama walau malam.

Ayah Grita yang mendengar hal tersebut langsung tidak mengizinkan Grita untuk pulang bersama adiknya. Alasannya karena Grita merupakan anak perempuan satu-satunya. Karena itulah ayahnya tidak mengizinkannya pulang malam bersama adiknya Brayen.

Grita tanpa berkata-kata pun pergi kesekolah dengan mengendarai sepedanya. Dia kesal dengan sifat ayahnya tersebut. Grita lalu segera pergi kekelasnya, dan bertemu dengan sahabat baiknya Erin. Setelah sekian lama mereka berdua bertemu di sekolah. Karena libur panjang akhir semester. Mereka pun saling bertanya tentang kabar masing- masing. Lalu aku dan Erin membantu teman-temanku membersihkan lingkungan.

Tringgg!!!, bunyi bel masuk kelas berbunyi. Aku dan teman-temanku masuk ke kelas dan membaca buku bersama. Lalu tidak lama kemudian guru yang paling mengebalkan datang ke kelas. Guru Matematika yang bernama Bapak Yanto. Dia menjelaskkan tidak perlu rumus hanya menggunakkan logika, itu saja yang dibutuhkkan dalam pembelajaran Matematika anak-anak. Tetapi Grita dan beberapa temannya belum paham tentang, pembelajaran Matematika menggunakaan logika. Aku dan teman-teman akan paham, jikalau menggunakkan rumus walaupun agak pusing.

Setelah beberapa saat.

“Tringgg!!!, bunyi bel sekolah berbunyi ini saatnya aku dan teman- teman pulang ke rumah. Lalu aku dengan mengendarai sepeda pulang ke rumah. Aku menunggu lampu merah berubah menjadi hijau agar bisa menyebrang jalan. Aku lalu menyebrangi jalan dengan mengendarai sepeda melewati zebracross. Lalu aku sampai di rumah, dan memarkirkan sepedaku di garasi rumahku. Aku berjalan dengan pelan menuju pintu depan rumah.

“ Tok-tok, ma pa aku udah pulang.”, kata Grita dengan nada yang pelan.

“Ohh kamu udah pulang, pukul berapa sekarang Grit.”, tanya papa Grita dengan wajah marah.

“Sekarang pukul 17.30 pah, emangnya ada apa lagi pah ?”, jawab Grita dengan pelan.

“Ini udah terlambat banget Grita, kamu melanggar aturan lagi dan lagi Grit. Papa kecewa banget sama sikap kamu ini!”, bentak papa Grita dengan nada tinggi.

Aku yang merasa menyesal karna sikapku yang pulang terlambat, memutuskan untuk meminta maaf kepada Papa. Namun tidak ada tanggapan satu pun dari Papa. Aku lalu memutuskan untuk pergi ke kamar. Sesampainya di kamar aku meneteskan air mataku sejadi-jadinya. Aku pun membaringkan diriku di atas kasur, aku merasa bahwa Papa tidak menyayangiku dan terlalu memberi larangan yang ketat. Berbeda dengan sifat Papa ke Brayen.

“ Tringgg!!”, bunyi alarmku yang begitu keras. Aku bangun dari tempat tidurku. Berdiri dengan perlahan seakan dunia berjalan begitu cepat. Dengan perlahan aku memasuki kamar mandi, sekarang waktunya aku mandi,

“ Biurrr.”, air yang begitu dingin seperti salju menusuk ke tulangku. Aku sangat menggigil karena air yang seperti salju ini.

Selesai mandi aku segera memakai baju dan menyisir rambut panjangku yang indah dan cantik. Aku pun mengikat duanya, karena aku terbiasa mengikat duanya di malam hari. Aku lalu pergi ke ruang makan karena sudah waktunya makan bersama.

“ Grita cepet sini makan, nanti makanannya dingin lo nak !!”, jerit Mama Grita dengan nada sedang.

“ Iya mah, sabar masih jalan nih., jawab Grita.

“ Yuk cepet makan Grit!”, kata Mama Grita menyuruhnya makan.

“ Mah Brayen nggak keliatan belum pulang, dari tadi aku pulang sekolah si Brayen enggak keliatan, emangnya dia kemana mah ?” Grita bertanya kepada Mamanya.

“ Ohh, si Brayen Mama juga nggak tau dia kemana, dia juga nggak ngasih tau Mama mau kemana, mungkin les.”, jawab Mama Grita.

Lagi-lagi aku dimarahi oleh ayah karena aku harus mencontoh sifatnya Brayen, yang selalu baik dimata Ayah. Seharusnya Brayen lah yang harus mencontoh sifatku ini. Walaupun Ayah sedikit tidak suka dengan sifatku ini. Tetapi aku tetap sabar menghadapi sifat Ayah yang seperti ini setiap hari. Aku tau sebenarnya Ayah sangat menyayangiku, hanya saja Ayah tidak mau menunjukkan kasih sayangnya itu kepada diriku. Dia itu seperti kelapa keras di luar lembut di dalam. Kadang-kadang aku suka heran melihat sifat Ayah yang seperti itu. Untuk siapa dia melakukannya, untukku ataukah Brayen.

Beberapa menit kemudian, Aku segera pergi ke kamar tanpa berkata-kata sedikit pun. Lalu aku segera membersihkkan tempat tidurku dan merapikkannya. Meminum air putih di malam hari adalah kebiasaanku. Agar aku tidak mengalami kekeringan di tenggorokkan, saat aku bangun tidur. Malam tiba dengan cepat, aku melihat ribuan bintang yang berkelap-kelip di angkasa, dan bulan purnama yang indah dan cerah diselimuti awan yang berwarna abu-abu di langit. Yang indah dan cantik. Aku tertidur dengan nyenyak di depan jendela kamarku.

Pagi pun tiba, mentari bersinar indah. Aku yang masih tertidur nyenyak mendengar suara keributan di luar kamar. Aku kira itu bunyi televisi, ternyata itu adalah suara Brayen dan Mamaku. Lalu aku terbangun dan mengecek ke luar kamar apakah keributan itu benar-benar terjadi. Fiks ternyata keributan itu benar-benar terjadi, di ruang tamu. Untung Ayah tidak di rumah, dia udah pergi ke kantor, kalau Ayah di rumah entah masalahnya pasti akan panjang dan berbelit-belit.

“ Bray !!!, kenapa kamu pulang pagi?”, tanya Mama kepada Brayen.

“ Udah deh mah jangan terlalu kepo, ama urusan anak remaja.”, saut Brayen dengan nada yang sangat tinggi.

“ Brayen !!!, kamu berani sama Mama haaa!!”

“ Mah, seharusnya Mama marah itu sama kak Grita dong, dia yang salah bukan aku!”, bentak Brayen menyalahkan Grita.

“ Kenapa Mama harus nyalahin kakak kamu itu? Kamu yang salah. Kenapa harus dia yang disalahin Yen?”, saut Mama Grita tidak terima.

“ Cukup Mah, Bray.”, jerit Grita.

“ Gimana mau cukup Grit, dia itu terus-terusan berbuat ulah, dia baru SMP, belum SMA, belum lagi Kuliah Mama pusing ngurusin adik kamu ini Grit. Tapi Papa kamu malah ngemanjain dia mulu, makanya Mama ngebiarin adik kamu ini, sekarang saatnya Mama enggak lagi ngemanjain adik kamu ini.”

“ Ya bagus, jangan lagi manjain aku, aku udah besar, manjain aja tuh si Grita diakan masih kecil.” kata Brayen membentak Mama, lalu pergi dengan wajah marah.

Brayen pergi kekamarnya tanpa berkata-kata lagi. Dia udah buat Mama nangis, nyakitin hatinya Mama. Yang aku denger-denger anak cowok lebih disayang atau lebih dekat dengan Ibunya. Karena Ibu mungkin lebih pintar berkomunikasi, lebih memahami perasaan anak, bahkan ibu adalah guru untuk banyak hal. Karena surga ada di telapak kaki Ibu. Keributan yang terjadi antara Mama dan Brayen itu salahku.

Aku merasa sangat bersalah karena keributan ini terjadi kemungkinan besar gara-gara aku. Mama nangis gara-gara aku, Brayen dimarah juga gara-gara aku. Semua ini gara-gara aku, aku merasa sangat bersalah. Untung Papa tidak dirumah dia pergi kerja. Kalau dia dirumah mungkin aku pasti akan dimarahi abis abisan olehnya.

“ Ting nong, ting nong.”, bunyi bel yang begitu keras.

“ Mah itu siapa ?”, tanya Grita dengan rasa yang curiga.

“ Mama juga enggak tau Grit,,, cobak Mama cek dulu ya.”, Mama Grita berjalan dan memeriksa.

“ Iya siapa ?,, mau cari siapa ?”, tanya Mama kepada gadis tersebut.

“ Saya Keynia tante pacarnya Brayen, Brayennya ada tante ?”, tanya gadis itu kepada Mama.

Seketika orang rumah yang mendengar perkataan dari Keynia, terkejut saat itu juga. Semua mata lalu tertuju kepada Brayen yang dengan santainya berjalan menuju ke pintu masuk.

Aku enggak pernah nyangka Brayen adikku sendiri mendahului untuk berpacaran. Seharusnya aku yang ada di posisi Brayen sekarang bersama pacarku, itu adalah aku. Kenapa bisa terjadi kayak gini, aku yang dipenjara dalam janjiku sendiri kepada Ayahku. Agar tidak memiliki pasangan sebelum ayah memberiku izin untuk berpacaran. Tapi tidak ada larangan berpacaran untuk Brayen, hanya ada larangan untukku. Kenapa hanya aku yang di beri larangan. Aku capek banget sama prilaku Ayah yang kayak gini. Ayah tidak mengerti sedikit pum dengan kondisi yang aku alami.

“ Papa pulang…”, Ayah Grita pulang dari kantor.

“ Ehh papa udah pulang, gimana tadi di kantor pah ?”, tanya Mama Grita dengan bahagia.

  Biasa aja mah.”, jawab ayah Grita[M1] , sambil melepaskan jas kantornya.

Papa lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah Papa selesai, ia langsung turun ke ruang makan. Di sana sudah ada Grita dan Mama yang sedang memasak. Perlahan Papa menarik kursi dan mendudukinya. Setelah selesai memasak, Grita dan Mamanya menata makanan di atas meja makan. Berhubung Brayen belum datang Grita pun melaporkan Brayen yang sudah memiliki pacar, bahkan mengajak pacarnya ke rumah. Aku yang berharap Papa akan marah kepada Brayen, malah sebaliknya Papa mendukung Brayen untuk berpacaran.

Papa bahkan mencari Brayen, karena Brayen tak tampak di sekitar meja makan. Aku merasa sangat kesal atas sikap Papa. Aku merasa sangat iri dengan Brayen, yang mendapatkan perhatian lebih dari Papa. Aku tidak pernah dicari oleh Ayah. Seperti Ayah mencari Brayen saat ini. Seandainya aku yang berada di posisi Brayen. Aku pasti bakalan terbang ke angkasa, bagaikkan bidadari. Karena aku sangat-sangat menyayangi dan mencintai Ayahku ini. Walaupun dia hanya menyayangi Brayen, aku tidak apa-apa, tetapi ada satu hal yang harus da ingat aku tetap menyayanginya.

Brayen bertanya tentang kabar Ayah begitu pula sebaliknya. Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka berdua. Entah apa yang di bicarakan mereka berdua, sampai tertawa riang dan bahagia. Ibu pun memanggil kami untuk makan bersama di meja makan. Aku duduk di sebelah Brayen, aku hanya terfokus kepada pembicaraan mereka berdua. Aku merasa ditiadakan oleh mereka. Lagi-lagi aku sendirian, disini tidak ada siapapun di sisiku saat ini.

Tidak ada kasih sayang bagiku di lubuk hati Papa yang paling dalam. Apakah aku seburuk itu bagi Papa. Aaaaaaa jelek banget nasibku ini, tidak disayang oleh Ayahku sendiri. Pasti aku anak pembawa sial di dalam keluarga ini, makanya selalu ada masalah di dalam keluargaku ini. Kalau aku masih disini nanti mood mereka makan hilang lagi. Mendingngan aku pergi ke kamar aja nih. Aku cari alasan pergi kekamar dulu nih.

“ Mah, Pah aku kekamar dulu yaa.”, alasan Grita untuk pergi ke kamarnya.

“ Kamu kenapa Grit ?”, tanya Mama Grita.

“ Enggak papa kok maa, Cuma kecapean.”, saut Grita.

“ Iya udah, malam Grit.”

“ Malam Mah, Pah, Bray.”

“ Tunggu dulu Grit, Papa mau bicara sama kamu semoga eggak nganggu kamu ya nak.”

“ Ya Pah, ngomong aja nggak papa kok Pah.”

“ Grita maafin Papa ya nak, Papa sangat bersalah sama kamu, karena udah selalu membandingkan kamu dan Brayen Grit. Papa sayang sama kalian berdua, tapi papa enggak mau kamu pergi dari pelukkan papa. Makanya papa ngelarang kamu buat pacaran dulu. Papa tau Brayen udah punya pacar, papa sengaja enggak larang. Karena kamu adalah putri kecil bagi Papa, walaupun kamu udah besar. Sekarang kamu boleh tentuin hidup kamu kayak gimana. Papa enggak bakal ngelarang kamu Grit. Maaffin Papa Grit karena udah sering marahin kamu setiap hari, setiap saat, dan setiap waktu. Papa selalu ngemarahin kamu Grit, maafin Papa ya Grita maaf.”

“ Enggak kok Pah, Papa nggak salah kok aku yang sala karena aku anak pembawa sial di rumah ini. Seharusnya aku yang minta maaf ke Papa bukan sebaliknya Papa yang minta maaf ke aku.”, saut Grita mengeluarkan tetesan air mata.

Papa memberikanku pengertian dengan tulus.

Dia berkata, “Kamu bukan gadis pembawa sial Grit, tetapi keberuntungan di rumah ini, bagi Papa dan Mama.”

Dia sangat bangga dengan diriku. Karena aku siap menghadapi amarah Papa selama ini. Ternyata dia memarahikku selama ini karena pulang telat, pulang malam, dan tidak mengizinkanku berpacaran. Alasannya karena dirinya tidak mengizinkanku untuk melakukan hal-hal seperti itu sebab, dia ingin aku sukses di masa depan, dan meraih cita-citaku ini.

Agar aku lebih fokus kepada pelajaranku di masa depan nanti, maka Ayah melarangku untuk berpacaran. Supaya aku menjadi orang yang sukses di masa depan nanti. Ayah pun berkata dengan lembut kepada diriku. Dia memegang erat kedua tanganku, seakan tidak akan pernah dilepaskan sama sekali. Di dalam hidup ini.

Aku sangat bahagia hari ini, saat Papa memelukku dengan erat.

Dia sambil berkata, “ Kau adalah putri kecilku yang sangat ku sayangi Grita.”

Aku merasa bahagia seakan aku terbang di atas awan. Ternyata apa yang dia lakukan waktu itu hanya untuk diriku ini. Aku telah salah paham dengan sifat Ayah waktu itu.

Aku merasa bersalah, karena telah salah paham dengan dirinya. Ternyata Papaku adalah seseorang yang hebat dalam hidupku ini. Dia adalah orang yang baik, pintar, bijaksana, dan penyayang. Dia adalah pahlawaanku yang paling hebat dan pemberani, yang akan selalu kukenal di dalam hidup ini. Aku tidak menyangka bahwa dia sesayang itu kepada diriku. Kau adalah pahlawaanku Pah, I love you.

Datah, 6 April 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemanfaatan Aset dengan Metode Bagja (Sebuah Refleksi Diri)

Pemimpin Pembelajar dalam Pengelolaan Sumber Daya (Koneksi Antarmateri)

Pengembangan Pola Pikir Berbasis Aset pada Pengurus OSIS SMPN 4 Abang (Implementasi Berpikir Berbasis Aset Sejak Dini)