SEHARUSNYA ITU AKU karya Ni Luh Andhi Rika Suarningsih
“Pah ada apa ?”, tanya
Grita.
“Apa kau tidak
merasa membuat kesalahan Grita ?”, tanya Papa Grita.
“Apa kesalahanku
pah ?”, tanya Grita dengan
pelan.
“ Cepat masuk ke
kamarmu !”, kata
papa Grita dengan membentak.
“ Baik pah.” kata Grita sedih.
Keosokan harinya
di meja makan Grita dan keluarganya makan bersama. Aku ragu bertanya dengan
Papa, apa yang ingin dia katakan semalam. Saat aku pulang dari les.
“Grita Mama nggak
liat kamu semalem, apa kamu pulang telat ?”, tanya
Mama Grita dengan pelan.
“Iya mah, kemarin
aku pulang telat.”, kata
Grita dengan mengangguk.
“Ohh baiklah, mari
kita makan. Mama mau manggil si Brayen dulu ya.”, kata Mama Grita penuh pengertian.
Tiba-tiba Brayen
datang menghampiri meja makan. Semua anggota keluarga lalu duduk di kursi
masing-masing. Grita mencoba mengajak Brayen untuk pulang sekolah siang ini.
Tetapi Brayen tidak ingin pulang bersama Grita, dengan alasan ia akan pulang
malam. Setelah itu Grita mencoba meminta Brayen untuk mengajaknya pulang
bersama walau malam.
Ayah Grita yang
mendengar hal tersebut langsung tidak mengizinkan Grita untuk pulang bersama
adiknya. Alasannya karena Grita merupakan anak perempuan satu-satunya. Karena
itulah ayahnya tidak mengizinkannya pulang malam bersama adiknya Brayen.
Grita tanpa
berkata-kata pun pergi kesekolah dengan mengendarai sepedanya. Dia kesal dengan
sifat ayahnya tersebut. Grita lalu segera pergi kekelasnya, dan bertemu dengan
sahabat baiknya Erin. Setelah sekian lama mereka berdua bertemu di sekolah.
Karena libur panjang akhir semester. Mereka pun saling bertanya tentang kabar
masing- masing. Lalu aku dan Erin membantu teman-temanku membersihkan
lingkungan.
“Tringgg!!!”, bunyi bel masuk kelas
berbunyi. Aku dan teman-temanku masuk ke kelas dan membaca buku
bersama. Lalu tidak lama kemudian guru yang paling mengebalkan datang ke kelas. Guru Matematika
yang bernama Bapak Yanto. Dia menjelaskkan tidak perlu rumus hanya menggunakkan
logika, itu saja yang dibutuhkkan dalam pembelajaran Matematika anak-anak.
Tetapi Grita dan beberapa temannya belum paham tentang, pembelajaran Matematika
menggunakaan logika. Aku dan teman-teman akan paham, jikalau menggunakkan rumus
walaupun agak pusing.
Setelah beberapa
saat.
“Tringgg!!!”, bunyi bel sekolah berbunyi
ini saatnya aku dan teman- teman pulang ke rumah. Lalu aku dengan mengendarai
sepeda pulang ke rumah. Aku menunggu lampu merah berubah menjadi hijau agar
bisa menyebrang jalan. Aku lalu menyebrangi jalan dengan mengendarai sepeda melewati
zebracross. Lalu aku sampai di
rumah, dan memarkirkan sepedaku di garasi rumahku. Aku berjalan dengan pelan
menuju pintu depan rumah.
“ Tok-tok, ma pa
aku udah pulang.”, kata
Grita dengan nada yang pelan.
“Ohh kamu udah pulang,
pukul berapa sekarang Grit.”, tanya
papa Grita dengan wajah marah.
“Sekarang pukul
17.30 pah, emangnya ada apa lagi pah ?”, jawab
Grita dengan pelan.
“Ini udah
terlambat banget Grita, kamu melanggar aturan lagi dan lagi Grit. Papa kecewa banget
sama sikap kamu ini!”, bentak
papa Grita dengan nada tinggi.
Aku yang merasa
menyesal karna sikapku yang pulang terlambat, memutuskan untuk meminta maaf
kepada Papa. Namun tidak ada tanggapan satu pun dari Papa. Aku lalu memutuskan
untuk pergi ke kamar.
Sesampainya di kamar aku meneteskan air mataku sejadi-jadinya. Aku pun
membaringkan diriku di atas kasur, aku merasa bahwa Papa tidak menyayangiku dan
terlalu memberi larangan yang ketat. Berbeda dengan sifat Papa ke Brayen.
“ Tringgg!!”, bunyi alarmku yang begitu
keras. Aku bangun dari tempat tidurku. Berdiri dengan perlahan seakan dunia
berjalan begitu cepat. Dengan perlahan aku memasuki kamar mandi, sekarang
waktunya aku mandi,
“ Biurrr.”, air yang begitu dingin
seperti salju menusuk ke tulangku. Aku sangat menggigil karena air yang seperti
salju ini.
Selesai mandi aku
segera memakai baju dan menyisir rambut panjangku yang indah dan cantik. Aku
pun mengikat duanya, karena aku terbiasa mengikat duanya di malam hari. Aku
lalu pergi ke ruang makan karena sudah waktunya makan bersama.
“ Grita cepet sini
makan, nanti makanannya dingin lo nak !!”, jerit
Mama Grita dengan nada sedang.
“ Iya mah, sabar
masih jalan nih., jawab Grita.
“ Yuk cepet makan
Grit!”, kata Mama Grita
menyuruhnya makan.
“ Mah Brayen nggak
keliatan belum pulang, dari tadi aku pulang sekolah si Brayen enggak keliatan,
emangnya dia kemana mah ?” Grita
bertanya kepada Mamanya.
“ Ohh, si Brayen Mama
juga nggak tau dia kemana, dia juga nggak ngasih tau Mama mau kemana, mungkin
les.”, jawab Mama Grita.
Lagi-lagi aku
dimarahi oleh ayah karena aku harus mencontoh sifatnya Brayen, yang selalu baik
dimata Ayah. Seharusnya Brayen lah
yang harus mencontoh sifatku ini. Walaupun Ayah sedikit tidak suka dengan
sifatku ini. Tetapi aku tetap sabar menghadapi sifat Ayah yang seperti ini
setiap hari. Aku tau sebenarnya Ayah sangat menyayangiku, hanya saja Ayah tidak
mau menunjukkan kasih sayangnya itu kepada diriku. Dia itu seperti kelapa keras
di luar lembut di dalam. Kadang-kadang aku suka heran melihat sifat Ayah yang
seperti itu. Untuk siapa dia melakukannya, untukku ataukah Brayen.
Beberapa menit
kemudian, Aku segera pergi ke kamar
tanpa berkata-kata sedikit pun. Lalu aku segera membersihkkan tempat tidurku
dan merapikkannya. Meminum air putih di malam hari adalah kebiasaanku. Agar aku
tidak mengalami kekeringan di tenggorokkan, saat aku bangun tidur. Malam tiba
dengan cepat, aku melihat ribuan bintang yang berkelap-kelip di angkasa, dan
bulan purnama yang indah dan cerah diselimuti awan yang berwarna abu-abu di
langit. Yang indah dan cantik. Aku tertidur dengan nyenyak di depan jendela
kamarku.
Pagi pun tiba,
mentari bersinar indah. Aku yang masih tertidur nyenyak mendengar suara
keributan di luar kamar. Aku kira itu bunyi televisi, ternyata itu adalah suara
Brayen dan Mamaku. Lalu aku terbangun dan mengecek ke luar kamar apakah
keributan itu benar-benar terjadi. Fiks ternyata keributan itu benar-benar
terjadi, di ruang tamu. Untung Ayah tidak di rumah, dia udah pergi ke kantor, kalau Ayah di
rumah entah masalahnya pasti akan panjang dan berbelit-belit.
“ Bray !!!, kenapa
kamu pulang pagi?”, tanya
Mama kepada Brayen.
“ Udah deh mah
jangan terlalu kepo, ama urusan anak remaja.”, saut Brayen dengan nada yang sangat tinggi.
“ Brayen !!!, kamu
berani sama Mama haaa!!”
“ Mah, seharusnya Mama
marah itu sama kak Grita dong, dia yang salah bukan aku!”, bentak Brayen menyalahkan
Grita.
“ Kenapa Mama
harus nyalahin kakak kamu itu? Kamu yang salah. Kenapa harus dia yang disalahin Yen?”, saut Mama Grita tidak
terima.
“ Cukup Mah,
Bray.”, jerit Grita.
“ Gimana mau cukup
Grit, dia itu terus-terusan berbuat ulah, dia baru SMP, belum SMA, belum lagi
Kuliah Mama pusing ngurusin adik kamu ini Grit. Tapi Papa kamu malah ngemanjain
dia mulu, makanya Mama ngebiarin adik kamu ini, sekarang saatnya Mama enggak lagi
ngemanjain adik kamu ini.”
“ Ya bagus, jangan
lagi manjain aku, aku udah besar, manjain aja tuh si Grita diakan masih kecil.” kata Brayen membentak Mama,
lalu pergi dengan wajah marah.
Brayen pergi
kekamarnya tanpa berkata-kata lagi. Dia udah buat Mama nangis, nyakitin hatinya
Mama. Yang aku denger-denger anak cowok lebih disayang atau lebih dekat dengan
Ibunya. Karena Ibu mungkin lebih pintar berkomunikasi, lebih memahami perasaan
anak, bahkan ibu adalah guru untuk banyak hal. Karena surga ada di telapak kaki
Ibu. Keributan yang terjadi antara Mama dan Brayen itu salahku.
Aku merasa sangat
bersalah karena keributan ini terjadi kemungkinan besar gara-gara aku. Mama nangis
gara-gara aku, Brayen dimarah juga gara-gara aku. Semua ini gara-gara aku, aku
merasa sangat bersalah. Untung Papa tidak dirumah dia pergi kerja. Kalau dia
dirumah mungkin aku pasti akan dimarahi abis abisan olehnya.
“ Ting nong, ting
nong.”, bunyi bel yang begitu
keras.
“ Mah itu siapa ?”, tanya Grita dengan rasa
yang curiga.
“ Mama juga enggak
tau Grit,,, cobak Mama cek dulu ya.”, Mama
Grita berjalan dan memeriksa.
“ Iya siapa ?,,
mau cari siapa ?”, tanya
Mama kepada gadis tersebut.
“ Saya Keynia
tante pacarnya Brayen, Brayennya ada tante ?”, tanya gadis itu kepada Mama.
Seketika orang
rumah yang mendengar perkataan dari Keynia, terkejut saat itu juga. Semua mata
lalu tertuju kepada Brayen yang dengan santainya berjalan menuju ke pintu
masuk.
Aku enggak pernah
nyangka Brayen adikku sendiri mendahului untuk berpacaran. Seharusnya aku yang
ada di posisi Brayen sekarang bersama pacarku, itu adalah aku. Kenapa bisa
terjadi kayak gini, aku yang dipenjara dalam janjiku sendiri kepada Ayahku.
Agar tidak memiliki pasangan sebelum ayah memberiku izin untuk berpacaran. Tapi
tidak ada larangan berpacaran untuk Brayen, hanya ada larangan untukku. Kenapa
hanya aku yang di beri larangan. Aku capek banget sama prilaku Ayah yang kayak
gini. Ayah tidak mengerti sedikit pum dengan kondisi yang aku alami.
“ Papa pulang…”, Ayah Grita pulang dari
kantor.
“ Ehh papa udah
pulang, gimana tadi di kantor pah ?”, tanya
Mama Grita dengan bahagia.
“ Biasa aja mah.”, jawab ayah Grita[M1] ,
sambil melepaskan jas kantornya.
Papa lalu beranjak
ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah Papa selesai, ia langsung
turun ke ruang makan. Di sana sudah ada Grita dan Mama yang sedang memasak.
Perlahan Papa menarik kursi dan mendudukinya. Setelah selesai memasak, Grita
dan Mamanya menata makanan di atas meja makan. Berhubung Brayen belum datang
Grita pun melaporkan Brayen yang sudah memiliki pacar, bahkan mengajak pacarnya
ke rumah. Aku yang berharap Papa akan marah kepada Brayen, malah sebaliknya
Papa mendukung Brayen untuk berpacaran.
Papa bahkan
mencari Brayen, karena Brayen tak tampak di sekitar meja makan. Aku merasa
sangat kesal atas sikap Papa. Aku merasa sangat iri dengan Brayen, yang
mendapatkan perhatian lebih dari Papa. Aku tidak pernah dicari oleh Ayah.
Seperti Ayah mencari Brayen saat ini. Seandainya aku yang berada di posisi
Brayen. Aku pasti bakalan terbang ke angkasa, bagaikkan bidadari. Karena aku
sangat-sangat menyayangi dan mencintai Ayahku ini. Walaupun dia hanya
menyayangi Brayen, aku tidak apa-apa, tetapi ada satu hal yang harus da ingat
aku tetap menyayanginya.
Brayen bertanya
tentang kabar Ayah begitu pula sebaliknya. Aku hanya bisa tersenyum melihat
mereka berdua. Entah apa yang di bicarakan mereka berdua, sampai tertawa riang
dan bahagia. Ibu pun memanggil kami untuk makan bersama di meja makan. Aku
duduk di sebelah Brayen, aku hanya terfokus kepada pembicaraan mereka berdua.
Aku merasa ditiadakan oleh mereka. Lagi-lagi aku sendirian, disini tidak ada
siapapun di sisiku saat ini.
Tidak ada kasih
sayang bagiku di lubuk hati Papa yang paling dalam. Apakah aku seburuk itu bagi
Papa. Aaaaaaa jelek banget nasibku ini, tidak disayang oleh Ayahku sendiri.
Pasti aku anak pembawa sial di dalam keluarga ini, makanya selalu ada masalah
di dalam keluargaku ini. Kalau aku masih disini nanti mood mereka makan hilang
lagi. Mendingngan aku pergi ke kamar aja nih. Aku cari alasan pergi kekamar
dulu nih.
“ Mah, Pah aku
kekamar dulu yaa.”, alasan
Grita untuk pergi ke kamarnya.
“ Kamu kenapa Grit
?”, tanya Mama Grita.
“ Enggak papa kok
maa, Cuma kecapean.”, saut
Grita.
“ Iya udah, malam
Grit.”
“ Malam Mah, Pah,
Bray.”
“ Tunggu dulu
Grit, Papa mau bicara sama kamu semoga eggak nganggu kamu ya nak.”
“ Ya Pah, ngomong
aja nggak papa kok Pah.”
“ Grita maafin Papa
ya nak, Papa sangat bersalah sama kamu, karena udah selalu membandingkan kamu
dan Brayen Grit. Papa sayang sama kalian berdua, tapi papa enggak mau kamu
pergi dari pelukkan papa. Makanya papa ngelarang kamu buat pacaran dulu. Papa
tau Brayen udah punya pacar, papa sengaja enggak larang. Karena kamu adalah
putri kecil bagi Papa, walaupun kamu udah besar. Sekarang kamu boleh tentuin
hidup kamu kayak gimana. Papa enggak bakal ngelarang kamu Grit. Maaffin Papa
Grit karena udah sering marahin kamu setiap hari, setiap saat, dan setiap
waktu. Papa selalu ngemarahin kamu Grit, maafin Papa ya Grita maaf.”
“ Enggak kok Pah,
Papa nggak salah kok aku yang sala karena aku anak pembawa sial di rumah ini.
Seharusnya aku yang minta maaf ke Papa bukan sebaliknya Papa yang minta maaf ke
aku.”, saut Grita mengeluarkan tetesan
air mata.
Papa memberikanku
pengertian dengan tulus.
Dia berkata, “Kamu
bukan gadis pembawa sial Grit, tetapi keberuntungan di rumah ini, bagi Papa dan
Mama.”
Dia sangat bangga
dengan diriku. Karena aku siap menghadapi amarah Papa selama ini. Ternyata dia
memarahikku selama ini karena pulang telat, pulang malam, dan tidak
mengizinkanku berpacaran. Alasannya karena dirinya tidak mengizinkanku untuk
melakukan hal-hal seperti itu sebab, dia ingin aku sukses di masa depan, dan meraih
cita-citaku ini.
Agar aku lebih fokus
kepada pelajaranku di masa depan nanti, maka Ayah melarangku untuk berpacaran. Supaya
aku menjadi orang yang sukses di masa depan nanti. Ayah pun berkata dengan
lembut kepada diriku. Dia memegang erat kedua tanganku, seakan tidak akan
pernah dilepaskan sama sekali. Di dalam hidup ini.
Aku sangat bahagia
hari ini, saat Papa memelukku dengan erat.
Dia sambil berkata, “ Kau adalah putri kecilku
yang sangat ku sayangi Grita.”
Aku merasa bahagia
seakan aku terbang di atas awan. Ternyata apa yang dia lakukan waktu itu hanya
untuk diriku ini. Aku telah salah paham dengan sifat Ayah waktu itu.
Aku merasa
bersalah, karena telah salah paham dengan dirinya. Ternyata Papaku adalah
seseorang yang hebat dalam hidupku ini. Dia adalah orang yang baik, pintar,
bijaksana, dan penyayang. Dia adalah pahlawaanku yang paling hebat dan
pemberani, yang akan selalu kukenal di dalam hidup ini. Aku tidak menyangka
bahwa dia sesayang itu kepada diriku. Kau adalah pahlawaanku Pah, I love you.
Komentar
Posting Komentar