Misi KKN di Desa Datah karya Ni Made Sri Galih Gunabhiksana
Saat
pertama kali kami menginjakkan kaki di desa ini, kami sudah dapat menghirup
aroma busuk yang berasal dari sepanjang
selokan yang ada pada permukiman disana.
Warga disana seakan tidak ada yang peduli dengan lingkungannya.
Perlahan
Mira dan kawan kawannya menginjakkan kakinya untuk menulusuri desa tersebut.
Desa itu suram layaknya desa tak berpenghuni.
"Kelihatannya
desa ini sangat kotor, gue bisa betah gak sih tinggal disini?!", ujar Tina sambil
menapakkan kakinya.
"Gue
juga berpikiran kaya gitu sih dari tadi. Awal masuk aja udah sekotor ini
apalagi dalamnya", jawab temanku
yang bernama Lina.
Sejak
awal kami sudah merasa tidak enak berada di desa ini, kami kira desa ini tidak
separah dengan apa yang kami bayangkan.
''Lo ngerasain hal yang sama
gak kaya gue?", tanyaku kepada salah satu temanku.
"Iya sih gue juga ngerasain
hal yang sama kaya lo", jawab temanku itu.
Beberapa hari kemudian kami mulai melakukan
sosialiasasi, ternyata masih banyak warga yang tidak paham tentang kebersihan
lingkungan.
Kemudian
salah satu warga di sana
mengangkatkan tangannya sembari bertanya "mengapa sih kita harus menjaga
kebersihan lingkungan?, toh kita disini baik baik aja"
"Naa
ini sudah hal yang menyababbkan desa ini menjadi kotor, karena kurangnya
kesadaran dari masyarakat", ujar mira.
"Brakkk", tiba tiba salah satu warga disana membuang sekantong
sampah plastik penuh ke got, mereka seakan tidak sadar terhadap lingkungannya di sana. Hal yang sering kami
lihat di media sosial ternyata terjadi di depan mata.
"Gue
nggak menyangka hal ini bakal terjadi di depan mata" kata mira
sambil menggelengkan kepala melihat kejadian itu.
"Waduhhh sulit sekali kita
mengatasi desa ini agar kembali bersih seperti semula" ujar mereka.
Ketika perjalanan pulang ke
tempat kami menginap, kami melihat
permukiman warga yang dipenuhi oleh sampah rumah tangga. Permukiman tersebut
layaknya lautan sampah yang beraroma busuk.
Lalu Mira bertanya kepada salah satu
warga yang ada di permukiman itu "Apakah bapak tidak merasa terganggu
dengan sampah rumah tangga yang mengguyuri permukiman ini?" ,
"Apakah bapak tidak menghirup
bau busuk dari sampah sampah ini?", imbuh salah satu temanku yang bernama
Lina.
"Saya tidak menghirup bau apa
apa kok, mungkin karena saya sudah terbiasa ya", kata warga di desa itu.
"Ooh begitu ya pak" jawab mereka dengan persaan yang
tidak enak karena menghirup bau busuk dari sampah sampah rumah tangga itu.
Mereka pun melanjutkan
perjalanannya menuju ke tempat menginapnya di desa itu. Sambil berjalan mereka
berbincang bincang mengenai desa yang mereka telusuri.
"Ternyata ada juga ya desa yang
kotornya mintak ampun ", ujar Mira.
"Gue juga nggak nyangka sih ada desa sekotor
ini" imbuh temannya yang bernama Ari ini.
"Gue lihat dari jawaban bapak
itu, warga di sini
pasti juga santai menghadapi masalah
lingkungan ini", kata mira sekali lagi.
Pada malam hari Mira berpikir sambil menatap bulan, dan berharap
bulan memberikann jawaban terhadap masalah lingkungan yang dihadapi oleh desa
tersebut.
Keesoakan harinya mereka melanjutkan
kegiatannya. Mereka terus mengamati
perkembangan yang ada di desa itu, tetapi masih saja ada masyarakat yang kami
lihat membuang sampah pada got.
"Warga di sini kok belum ada yang
sadar, padahal kita sudah mengingatkan mereka berkali kali", ujar mereka.
Tiba tiba cuaca tidak bersahabat,
hujan turun dengan lebat sampah sampah yang ada di selokan naik ke permukiman
warga.
Mereka berteduh sambil mengeluh
dengan keadaan itu. "Ini akibat jika kita membuang sampah
sembarangan", ujar Mira.
"Iya, kenapa warga disini sangat
keras kepala. Padahal ini kan untuk kebaikan mereka", ujar lina menjawab
perkataan Mira.
Hujan sudah mulai reda, kami pun
melanjutkan kegiatan yaitu meninjau desa tersebut. Saat kami melakukan
peninjauan kami menemukan lagi lagi ada orang yang membuang limbah yeng
mengandung zat kimia.
"Gue tuh heran sama orang sini,
kok nggak ada yang sadar sadar sih sama
lingkungannya", ujarku dengan kesal.
"Sekarang tugas kita harus mencari cara untuk menumbuhkan
kesadaran orang sini tentang pentingnya lingkungan bagi kehidupan", seru
salah satu temanku.
"Gimana caranya kita menumbuhkan
kesadaran warga disini, orang orang sinipun tidak mendengarkan kita" saut
temanku yeng bernama Tina.
"Fiks sih orang orang sini keras
kepala, gue yang jadinya pusing mikirin ini",ujarku. Kamipun melanjutkan perjalanan dengan hati yang miris
melihat keadaan lingkungan yang sekotor itu.
Kami terus berbincang bincang dalam
perjalanan, dan pada akhirnya kami kelelahan dan memutuskan untuk berhenti
sejenak membeli minuman ke sebuah warung
di desa itu untuk menghilangkan dahaga. Warung itu kelihatannya sangat kumuh
hingga membuat kami merasa jijik.
"Iih warung ini kok kumuh
banget, kalo bukan karna dahaga gue gak akan mampir ke warung ini", kata
Ari sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
"Gue juga gitu ri. Ihh
jijik" jawab Tina.
"Kalian nggak boleh kayak gitu,
kita disinikan nggak untuk ngehujat desa ini, tapi tugas kita menyadarkan warga
di desa ini", ujar mira.
Ari dan Tina pun menundukkan kepala
dengan hati yang merasa malu. Saat
dahaga kami sudah hilang kami lalu melanjutkan penelusuran hingga ke pelosok
pelosok desa.
Di pelosok desa kami berhenti dengan
mata yang terbuka lebar menatap keindahan yang ada di pelosok desa, Mira sempat
bertanya kepada dirinya.
"Apa gue nggak salah lihat inih", aku bertanya kepada diriku
sembari menggosok mata.
"Kenapa malah di pelosok desa
yang lebih bersih dari pada pusat desa ya?", tanyaku kepada temanku
"gue juga nggak ngerti nih sama desa ini".
Walaupun mereka satu desa, tetapi
pemahaman mereka tentang lingkungan berbeda.
Saat kami datang kepelosok desa itu warganya langsung menyambut kami
dengan sopan.
"Ternyata nggak lingkungan
mereka aja yang bersih, tapi mereka juga berattitude". "Nggak salah
sih kita masuk ke pelosok desa ini", ujarku kepada teman temanku.
Langit sudah mulai gelap kamipun
kembali ke tempat kami menginap di pusat desa. Setelah kami datang kepelosok
desa, kami melihat jelas kebersihan yang ada di pelosok desa dengan yang ada di
pusat desa. Kami mengetahui bahwa tempat
tinggal tidak akan mengurangi nilai
seseorang.
Pada malam hari sebelum tidur kami
membicarakan tentang perbandingan yang sangat drastis antara pusat desa dengan
pelosok desa. Kami pun sempat berpikir
padahal pusat desa lebih berpenddikan dibandingkan pelosok desa, plosok desa sangat jauh dengan sekolah jika
ia ingin sekolah ia harus berjalan kaki untuk mencapai sekolah di pusat desa.
Namun kenapa pusat desa tidak paham dengan lingkungannya.
Karena kami sudah lelah dan hari
sudah malam kami bergegas tidur. Disaat kami akan tidur, ada beberapa warga
yang mengetuk pintu penginapan kami. Saat itu hujan turun dengan deras. Warga
mengeluh karena rumahnya kebanjiran.
Air
got yang dipenuhi oleh sampah sampah plastik meluap dan memasuki
permukiman waraga. Warga pun meminta solusi kepada kami.
"Adik adik tolong bantu kami
untuk mengatasai kebanjiran ini", ujar warga warga itu.
"Ya salah satu caranya yaitu
tidak membuang sampah sembarangan", jawab kami dengan perasaan yang senang
karena warga sudah menyadari akibatnya.
Perasaan kami sudah mulai gembira
karena waraga mulai mau mendengarkan kami tentang kebersihan lingkungan mereka.
Katika kami berdiri sambil memperhatikan permukiman yang habis terkena banjir
tadi malam yang diakibatkan oleh sampah yang ada pada got, ada seorang anak
laki laki yang menghampiri kami dan menatap kami dengan penuh harapan.
Maka kami pun berpikir untuk berusaha
menyelamatkan lingkungan di desa ini.
"Ayo kita berusaha memulihkan
desa ini seperti semula" ujarku kepada teman temanku. Kamipun dengat
bersemangat membantu warga di sini.
"Ooh iya lo ingat nggak pelosok
desa yang kita kunjungi kemarin?". Habis hujan tadi malam gimana yah
kondisi desa itu", ujar lina. "Iya inget lah, bener juga kata lo
ya", jawabku.
Kami pun bergegas ke pelosok
desa. Kami di sana
menghirup udara yang segar karena hujan tadi malam.
"Desa ini nggak kenapa-kenapa
kok, beda sama yang ada di pusat desa", kataku. "Mungkin
karena warganya yang memperhatikan kebersihan lingkungannya", jawab Ari.
Kami mencari tahu mengapa warga warga
disini sangat memperhatikan lingkungannya. Kami bertanya dengan tokoh yang ada
di pelosok desa itu.
"Menurut bapak, apa yang
menjadikan wilayah
ini menjadi bersih?. Berbeda dengan pusat desa", tanyaku kepada tokoh yang
ada pada pelosok desa tersebut.
"Kami mengambil kebijakan, jika
ada orang yang membuang sampah sembarangan kami akan mengkenakan mereka denda
dengan membersihkan lingkungan selama 1 bulan. Dan kebijakan ini telah disetujui
oleh warga warga di sini".
"Ooo begitu ya pak, terimakasih
atas informasinya", jawab kami.
Kami kemudian membicarakan hal
tersebut dengan kepala desa di sana, dan telah disepakati.
"Selamat siang pak, kami ingin
memberikan masukan tentang kebersihan di desa ini", ujar kami.
"Begini pak kami merencanakan untuk memberikan denda terhadap orang yang membuang
sampah sembarangan, bagaimana pak?", tanya kami.
"Begitu ya, saya setuju setuju
saja dengan rencana kalian", jawabnya.
"Untuk dendanya seperti apa
pak?", tanya kami sekali lagi.
"Dendanya yaitu dibyar dengan
uang sejumlah 500 ribu untuk membangkitkan perekonomian di desa ini",
jawabnya.
"Benar juga pak, dengan uang itu
kita dapat menata desa ini".
Kami pun berangsur angsur mengumumkan
peraturan tersebut kepada warga di desa itu. Tetapi usaha kami untuk meyakinkan
warga gagal, karena dendanya terlalu banyak.
Ketika perjalanan pulang kami
mendengar tangisan seorang anak dari salah satu rumah disana. Ternyata anak itu
ingin meminta uang kepada orang tuanya tetapi tidak diberikan, karena kondisi
keuangan di keluarga itu tidak baik baik saja. Kemudian kami pun menghampiri mereka.
"Ada apa bu, kenapa anak ibu
menangis?", tanyaku kepada ibu itu.
"Ooo ini anak saya ingin meminta
uang 2000 tetapi saya tidak punya", jawab ibu itu dengan tersenyum.
Mira pun memberikan anak itu
uang ketika Mira
memberikan uang, anak itu melompat lompat kegirangan dan memeluk Mira dengan rasa hangat.
Mira pun
tersenyum melihat kebahagian anak itu.
Pantas saja warga disini menolak
peraturan itu.
"Aku menjadi miris melihat
kondisi warga di sini,
memberikan anaknya uang 2000
saja tidak dapat terpenuhi. Apalagi membayar denda dengan uang sebanyak 500 ribu",ujarku.
"Bener juga kata lo Mir", jawab temanku itu dengan
sedih.
Saat kami melewati TPA, kami melihat
TPA yang tidak layak untuk digunakan sebagai tempat pembuangan sampah. Kamipun
mengadakan penggalangan dana untuk memperbaiki TPA tersebut.
Kami memulai penggalangan dana untuk
perbaikan TPA tetapi tida ada yang memerhatikan. Kamipun sempat mengeluh karena
kurangnya perhatiannya kepada kami yang sudah berusaha demi kebersihan desa
itu.
"Gue merasa kecewa sama desa
ini, satupun orang nggak ada yang ngemasukin uang ke dalam kotak ini",
ujarku dengan penuh rasa kecewa.
"Bener kata lo mir, kita udah
panes panesan kaya gini tapi belum ada tuh yang memerhatikan kita",saut
Tina.
"Gue udah nggak betah tinggal
disini", imbuh Ari.
"Gue juga kaya lo Ri tapi kita harus
menyalesaikan kegiatan kita di Desa ini", kataku.
Keesokan harinya matahari bersinar
sangat terik hingga mata kita menjadi silau. Dan tidak bisa melanjutkan
penggalangan dana.
"Kita batalin aja penggalangan
dana ini, matahari bersinar sangat terik dan lagi pula nggak ada 1 pun warga
yang memerhatiakn kita", kata Mira.
Teman temanku pun tersenyum
kegirangan, mungkin kerena mereka sudah lelah. Kemudian kami menemui
kepala desa yang ada di desa itu. Untuk mengtakakn bahwa warga disana tidak
mensetujui kebijakan itu.
Lalu kepala desa yang bernama Pak
Harto itu memberikan kami ide. Untuk melakukan kerja bakti setiap 1 minggu
sekali, dan kami menyetujui ide tersebut.
"Bagaimana kalo adik adik
mengajak warga di desa ini untuk melakukan kerja bakti setiap seminggu
sekali", seru kepala desa itu.
"Kami setuju dengan ide bapak.
Apa bisa kami terapkan mulai besok pak?", jawab kami.
"Kapan saja bisa, yang penting
warga di sini mau melakukannya", jawab sekali lagi kepala desa yang
bernama Pak Harto itu.
"Ide yang diberikan kepala desa
itu memang bagus tetapi kesulitannya yaitu mengajak warga untuk
melakukannya", ujar kami sambil berjalan pulang ke penginapan.
Kami berpikir untuk mengadakan
sosialisasi sekali lagi sebelum kami pulang ke kota. Dan bersyukur lagi warga warga di sini mau menyadarkan diri mereka untuk melakukan
kerja bakti membersihkan lingkungan sekurang-kurangnya seminggu sekali.
Warga di desa itu mau melakukan kerja
bakti seminggu sekali. Ketika kami melakukan kerja bakti kami masih melihat ada
orang yang membuang sampah sembarangan ke sungai. Kami pu menegur orang itu
dengan berkata
"Mohon maaf pak, bukannya kami
sudah sering memberitahu bapak", tanya kami dengan perasaan yang sangat
marah.
"Oo iya waktu itu juga saya
dapat menemui bapak di permukiman yang sangat kotor itu ya pak, apakah bapak
masih ingat?", imbuh mira.
"Kalian anak KKN itu iya",
jawab bapak itu dengan menudukkan kepalinya sembari mengatakan minta maaf dan
memegang tangan kami dengan persaan yang tulus.
Akhirnya KKN kami selama 6 bulan ini
telah berhasil.
"Finally tugas kita untuk
menjadikan desa ini menjadi terjaga berhasil", ujar Tina dengan rasa yang
sangat gembira.
Hari mulai gelap dan kami pun kembali
kepenginapan untuk beristirahat. Kami memperhatikan desa yang kian bersih
dengan perasaan terharu, karena kami telah berhasil melaksanakan tugas dengan
baik.
Pada keesokan harinya kami meminta
bantuan kepada kepala desa untuk mengumpulkan warganya untuk berpamitan.
"Baik para warga yang ada di
desa Datah yang kami cintai dan kami hormati, pada hari ini tugas kami telah
selesai, kami ingin mengucapkan terimakasih banyak karena telah diterima di
desa ini, jika ada perkataan atau perbuatan kami yang tidak berkenan kami
ucapkan mohon maaf", ujar kami dengan perasaan sedih.
Kami kemudian mendirikan tugu agar
diingat oleh para warga warga di sana.
Dan pada akhirnya kami telah dijemput oleh mobil dari pihak kampus, ketika
sopir kami sudah menghidupkan mobil, kemudian para warga di sana melambai lambaikan
tangannya hingga mobil kami pun tak tampak lagi.
Datah, 7 April 2023
Komentar
Posting Komentar