MALAIKAT SUNYI
Magnus,
anak hijau berambut hitam jelaga yang seperti tak pernah disisir, menapak jalan
bertanah dengan tergesa.
Tiada
dihiraukannya bebunyian malam yang menggetarkan ruh. Suara kepak sayap
kelelawar-kelelawar jantan bersayap gelap mendesing-desing di atas kepalanya.
Bagai menncium aroma buah sirsak matang yang diuraikan rambutnya. Cericitnya
menghalau gigil angin yang membelah belukar dan pepohonan tinggi berdaun lebat.
Magnus berhenti sebentar, memandang kelelawar-kelelawar yang kini berpencar,
serupa anak-anak panah, melesat ke pepohonan trembesi tua yang gemetar di
pinggir jalan bertanah. Kelelawar-kelelawar itu bergelantungan di reranting
trembesi. Tepekur menatap bocah yang memperhatikan mereka dengan sepasang mata
yang menawarkan kemuraman hidup. Bersitatap dalam hening waktu, seperti saling
bertukar hikayat tentang sarang yang tiada dijalari cahaya cinta. Mata Magnus
mengerjap-erjap. Kelelawar-kelelawar itu terbang.
Magnus
memanjangkan jejaknya dalam kepekatan malam. Setiap lorong pikirannya penuh
oleh cacian ibunya. Dia adalah
bocah sial, bocah jahanam dan entah apa lagi. Sebutan-sebutan itu menghambur ke
angkasa sejak fajar mengalir hingga senja menutup mata. Menghambur bagai
serangan beribu tawon yang muntah dari bibir ibunya yang bergincu dendam.
Magnus hanya tersedu di pelataran, menunduk, seperti orang bersalah yang sudah
menghanguskan kebahagiaan ibunya beribu kali. Air matanya kuyup berlinang,
membelah pipinya yang tak
berlemak sedikit pun. Sementara ibunya meracau sengit dengan caci tiada jeda.
Kata-kata kerapat itu menggetarkan bumi.
Berpangkal
dari riwayat Magnus membunuh nyawa bunga seruni kesayangan ibunya. Suara-suara
gedebum kayu yang dibelah kapak ibunya membangunkannya dari mimpi indah
mengejar kupu-kupu. Setiap suara yang dihasilkan dari bibir atau tangan ibunya
senantiasa menggigilkan tubuh Magnus. Penanda angin kemalangan akan menyentuh
kulit kehidupannya. Magnus keluar kamar dengan mata setengah terkatup. Tak
disadarinya menginjak bibit tetumbuhan bunga seruni kesayangan ibunya. Tubuhnya
bergemetar hebat. Dedaunan yang baru menampakkan nyawa dari dalam tanah seperti
mengutuk mata Magnus yang
memandangnya penuh ketakutan. Kutukan: bahwa sepasang mata Magnus akan
menetaskan air mata tiada henti!
Ibunya
yang tengah membelah kayu, menoleh kepada Magnus. Curiga anaknya mengarca
dengan wajah bersimbah rasa ngeri. Firasat buruk. Ibunya melempar kapak.
Mendekati Magnus. Setiap langkah yang diserat ibunya, membuat Magnus seperti
akan berhadapan dengan maut. Terkadang lebih mengerikan. Tubuh Magnus merapat
ke dinding. Ibunya meraih senjatanya yang mematung. Sapu itu segera menyambut
kemarahan tuannya, mengarah garang tubuh Magnus. Magnus lari pelataran.
Tangisnya yang tak bersuara berserak di sana.
Senjata
picik itu berkali-kali merajam tubuhnya. Tiada jerit yang keluar dari bibirnya.
Kecuali air matanya yang menjalar, menyentuh permukaan tanah yang basah. Setiap
kali senjata picik itu memahat tubuhnya, hati Magnus selalu menyebut para
malaikat sunyi yang bermukim di jalan berkabut. Malaikat sunyi yang sering
diceritakan Bu Guru dari sebuah
buku dongeng tua.
Para
malaikat sunyi itu menolong anak-anak yang ditimpa kemalangan dan kesendirian.
Malaikat sunyi itu muncul dengan sayap-sayap berkilau terang, mengangkasa di
kegelapan malam. Mereka memungut setiap kristal air mata yang menetas dari bola
mata anak-anak hijau. Dikumpulkannya kristal-kristal air mata itu dalam guci
yang mereka bawa untuk diramu sebagai penawar kesunyian, kisah Bu Guru. Kadang
kala kristal-kristal air mata itu dijadikan kalung leher untuk diberikan kepada
anak-anak hijau malang ketika perayaan cinta tiba. Malaikat sunyi itu terbang dari jalan
berkabut. Panggil saja mereka dengan hati kalian yang perih ditikam kenyataan
hidup. Tetaskan saja air mata kalian, para malaikat sunyi akan datang
menjemput.
Akhirnya,
senjata itu menghentikan serangannya di tubuh Magnus. Ujungnya banyak yang
patah. Mata ibunya mendelik kepada Magnus yang terbungkuk menatap tanah. “Sudah
kuperingatkan berjuta kali kepadamu, Magnus. Jangan bermain api denganku jika
kau tak ingin terbakar amarahku. Kau tahu, bunga-bunga itu kubeli dengan
keringat tubuhku. Sekarang kau membunuhnya! Keparat kau, Magnus!” Sekali
lagi petir kemarahan meledak di sepasang mata ibunya. Magnus memejamkan mata. Tak berani memandang apa
pun yang ada di hadapannya
Dalam
pikiran Magnus berkelebat banyak cahanya berkerlap-kerlip dengan warna
benderang. Cahaya-cahaya bundar itu terbang dengan sayap kecil-kecil
mengelilinginya. Kepaknya mengeluarkan simfoni merdu. Cahaya-cahaya itu
kemudian membesar seiring caci ibunya yang kian menyesaki udara. Magnus terus
memanggil para malaikat sunyi dengan hatinya.
Cahaya
itu meredup lantas sirna. Senyap. Perlahan Magnus membuka mata. Ibunya
dilihatnya terengah dengan tangan melepuh, mengeluarkan asap, seperti habis
terbakar. Wajah ibunya bersimbah peluh. Namun, sepasang matanya nyalang kepada
Magnus. Mengutuk tiada jeda. “Cahaya api melesat keluar dari matamu tadi,
Magnus. Kau memelihara setan api di matamu. Siapa yang memberi, anak setan? Katakan!”
Magnus
terpana.
***
Jalan
berkabut itu bisa ditemukan apabila hati kalian sekarat dirajam kepedihan.
Jalan itu bercandi bebatuan alam terbaik dari penjuru dunia. Di sepanjang jalan
itu banyak tumbuh pepohonan bunga bersulur-sulur yang akan meneduhi jejak-jejak
perih kalian. Perlu diingat setiap jejak yang ditepakkan di tanah jalan
berkabut akan langsung terbakar nyala api yang menyembul begitu saja dari dalam
tanah. Jejak-jejak itu diabukan oleh para malaikat sunyi agar tidak ada yang
mengikuti jejak-jejak yang kalian nampakkan di jalan berkabut. Tidak ada rumah
bermandi cahaya di sepanjang jalan itu. .Hanya kegelapan yang penuh. Walau
demikian, kalian akan dituntun oleh hati kalian menemukan istana para malaikat
sunyi, kata Bu Guru.
Magnus mengangkat telunjuknya.’’Bu Guru, benarkah untuk
memanggil para malaikat sunyi itu memakai
mantra?”
Bu
Guru menggeleng. “Anak cerdas, tidak ada kutipan-kutipan di buku ini yang
mengharuskan kau mengucapkan mantra untuk memanggil para malaikat sunyi datang
ke hadapanmu. Yang diperlukan
hanya kepedihan hati yang sangat kau rasakan. Panggilah mereka dengan hatimu.
Para malaikat sunyi akan datang. Percayalah.”
Bu
Guru memandang seisi kelas. Perhatikan anak didiknya tertuju padanya dan sebuah
buku dongeng tua yang halamannya terbuka di atas meja. “Dinamakan jalan
berkabut tentu karena jalan itu berselimut kabut. Kabut yang tidak pernah mau
menguap walaupun sedetik. Kabut-kabut itu bisa berpendar-pendar membentuk
lambang kehidupan tertentu. Kalian bisa mengambil kabut itu untuk dibentuk
sebagai hadiah para malaikat sunyi. Betapa ajaibnya. Bentuklah menjadi benda
yang kalian benci. Entah itu bentuk bola, segitiga, pohon cemara, atau yang
lainnya. Mudah sekali mmebentuk sesuatu dari kabut-kabut itu karena liat
seperti tanah. Dan benda-benda yang kalian buat itu akan diledakkan para
malaikat sunyi di angkasa menjadi cahaya-cahay yang indah.’’
“Aku ingin membentuk kabut itu jadi boneka babi. Aku tidak suka babi!
Kuhadiahkan kepada para malaikat sunyi agar diubah menjadi cahaya indah seperti
kembang api tahun baru,“ kata
Hilda dari sudut kelas.
“Kubentuk jadi tongkat, “ kata yang lain.
“Bunga bangkai.”
“Ulat. Kubenci ulat.”
“Batu.”
“Cermin!”
Bu
guru mengedarkan pandangan pada anak didiknya yang berceloteh riang. Tatapannya
tertuju Magnus yang sepasang matanya menerawang ke luar jendela kelas. Melihat
mega-mega yang berarak tiada putus di langit.
“Magnus,
kabut-kabut itu kau bentuk apa?”
Magnus
menoleh kepada Bu Guru. Diam sejenak. “Bibir, Bu Guru. Saya benci bibir ibu
saya…”
***
Bubar
sekolah, Magnus menyusuri pematang sawah dengan Najiba, teman sebangkunya.
“Menurut kakekku, jalan berkabut itu nyata,” kata Najiba ketika Magnus menanyakan kebenaran riwayat
berkabut. “Kakekmu pernah ke sana?’’ tanya Magnus kemudian. Najiba berhenti.
Menatap sepasang mata Magnus yng bening. “Aku percaya cerita Bu Guru dan
Kakekku,“ kata Najiba dengan
wajah meyakinkan. Magnus mengangguk.”Aku juga percaya,“ katanya berkali-kali. Keduanya melanjutkan
perjalanan kembali. Matahari kian meninggi.
Sepasang
mata penuh kebencian menyapa Magnus di rumah. Mata yang tidak pernah berpijak
cinta dan bahagia. Mata yang selalu gelap tak terkira setiap bertemu mata
Magnus. Dua pasang mata yang tiada pernah berdamai, senantiasa memantik api
permusuhan. Terdengar gedebum kayu menubruk tanah. Magnus menggigil melihat
keperkasaan ibunya. Langkahnya tak bersuara. “Habis makan langsung cari rumput.
Sapi dungumu sudah menjerit sejak pagi!” perintah ibunya dengan nada sengit.
Magnus
menoleh kepada ibunya sekilas. Mata mereka berbenturan. Saling melempar api.
“Mau melawanku, anak
jahanam?” pekik ibunya. Magnus menggeleng pelan, melangkah diam ke kamarnya.
Magnus
meraba potret ayahnya. Potret yang diberikan secara sembunyi-sembunyi oleh
Paman Brata, ayah Najiba. Andai saja ibunya tahu kalau ia menyimpan
potret ayahnya, langit akan
runtuh diguncang kemurkaan ibunya. Dalam pikiran Magnus, seharusnya ayah dan
ibu hidup rukun dan saling mencintai. Layaknya keluarga yang sering dicontohkan
Bu Guru dalam pelajaran Budi Pekerti. Akan tetapi, ayah dan ibunya berbeda.
Ibunya sangat mmebenci ayahnya. Dan ibunya melarang Magnus mengenalnmya bahkan
melalui potret hitam putih yang kini dipandangnya dengan mata penuh rindu.
Ayahmu adalah setan dari langit kegelapan, jawab ibunya setiap kali Magnus menyodorkan pertanyaan
perihal ayahnya. Tentu saja Magnus menanyakan hal itu ketika ibunya tengah
bersukacita, umpamanya setelah ibunya berhasil menghalau puluhan kupu-kupu yang
mendarat di atas bunga-bunga kesayangannya. Ibunya sangat membenci serangga
bersayap itu.
“Tak perlu kau tahu ayahmu! Ia sudah berliang lahat bahkan sebelum kau
lahir. Kematiannya begitu menjijikan. Bangkai busuknya jadi rebutan serigala
liar. Bahkan tanah pun tak
mau menerima bangkai ayahmu. Hidupnya benar-benar aib bagiku! Kau hanya membutuhkanku
untuk hidup. Sekali lagi kau menanyakan ayahmu, hidupmu akan terancam,
anak keparat!” Ancaman ibunya itu menambal keingintahuan Magnus.
Syukurlah
Paman Brata berbaik hati memberikan selembar potret ayahnya. Kata Paman Brata
mereka berkawan sejak kecil. Namun, setiap Magnus mengumbar keingintahuannya
akan ayahnya, lelaki yang
usianya terpaut enam bulan dari ayahnya itu selalu mengatakan, “ Itu riwayat
kelam, Nak. Tak usah kuriwayatkan di hadapanmu sekarang. Kau tidak akan
memahami yang sudah terjadi. Lebih bagus kau simpan pertanyaanmu di peti
hatimu. Paman mohon jangan kau buka lagi bahkan kepada orang lain. Terlebih
untukmu sendiri. Kau akan menemukan riwayat ayahmu senmdiri setelah masa dewasa
menghampirimu.”
Magnus
berharap cepat dewasa agar dapat menggali rahasia tentang ayahnhya yang ditanam
secara diam-diam oleh orang-orang. Sebagai penawar rasa ingin tahu, Magnus
hanya bisa memandangi potret buram ayahnya. Matanya adalah mata Magnus. Rambut
berombaknya adalah rambut Magnus. Alisnya yang bertaut adalah alis Magnus. Dan
tatapan itu adalah tatapan Magnus yang penuh ruang-ruang senyap bagai menyimpan
riwayat gelap yang sukar terterangi. Bahkan tatapan itu tidak mau membuka diri
di depan Magnus, anaknya sendiri. Tatapan itu seolah ingin menimbun sejarahnya
sendiri.
Magnus
memandang potret itu lebih dekat. Ayahnya bergaya tentara yang kerap dilihat
Magnus dalam buku-buku pelajaran sejarah dengan senapan dipegangnya erat,
seperti memegang tangan kekasihnya. Tentarakah ayahnya? Batin Magnus. Betapa
membanggakannya jika itu nyata.
“Tentara? Puih! Taik kucing! Tabik seribu kali!” ibunya meludah jijik ke
tanah, “Dari mana kau memungut
sebutan itu untuk ayahmu? Bibir nyinyir tetangga-tetangga kita? Tahu apa mereka
tentang ayahmu. Jangan kau dengar kabar murahan itu, anak keparat. Ayahmu sudah
jadi bangkai. Kau belum jera juga dengan rajaman senjataku. Kau mau
menikmatinya lagi, anak
keparat!” Satu kesalahan lagi dibuat Magnus dihadapan ibunya. Sapu itu kembali
merajam tubuhnya tanpa ampun sekaligus mengabukan pertanyaan-pertanyaan Magnus
berikutnya.
Magnus
memasukkan potret itu,secepat kilat ke bawah kasur. Langkah-langkah berat
ibunya di luar menuju kamarnya. Magnus cepat berganti pakaian. Ia membuka pintu
kamar hati-hati. Ibunya sudah berdiri dengan sapu sakti di tangan. Siap
menerkam. Matanya berkilat-kilat. Magnus menggigil hebat. Dipanggilnya para
malaikat sunyi ketika sapu jahanam itu mencabik-cabik punggungya…
***
Magnus
mencari rumput hingga di balik perbukitan,
karena keranjang rumput tak terlalu besar yang ada di punggungnya belum terisi
penuh. Halimun secara bergantian menghalangi cahaya jingga matahari senja.
Menambah waktu berjalan cepat dari sebenarnya. Magnus tergesa di antara rerimbunan perdu dan semak. Matanya
mencari-cari rerumputan tinggi untuk sapi jantan miliknya. Tetapi tak
ditemukannya. Bayang-bayang pepohonan tinggi menggelapkan langkah Magnus.
Magnus akhirnya menyerah. Dilepasnya keranjang rumput. Tubuh lelahnya
dibaringkan di atas rumput yang penuh dedaunan kering. Matanya memandang langit
yang muram. Di tempat ini ia merasa bebas dari cengkeraman bibir dan senjata
ibunya. Sebuah kehidupan yang didambakannya. Sepi yang mengepung, sepi yang
menari di sekelilingnya untuk
menghiburnya ketika nestapa bertubi-tubi menikamnya, sepi yang bersahabat. Sepi
yang amat dirindukannya.
Magnus
mencium wangi bunga cempaka yang semerbak memenuhi udara. Ia berdiri. Wangi itu
menderasi hidungnya. Sepasang matanya mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Tak ada pepohonan cempaka yang tumbuh. Dari mana asal wangi ini? batin Magnus.
“Aku yang menaburkan bunga-bunga cempaka tadi di sini, “ suara laki-laki
mengagetkannya. Magnus tergeragap. Ayahnya telah berdiri beberapa jarak di
hadapannya. Mata Magnus
berkedip-kedip. Tak percaya pada kenyataan yang menghampar di depannya. Ia berlari ke arah kenyataan
itu. Memeluk ayahnya bersama rindu tiada terperi.
“Kata ibu, ayah telah jadi bangkai yang direbut serigala-serigala liar.”
Tangan
hangat ayahnya merapikan rambut Magnus yang berantakan tertiup angin. “Ayah
dari dulu tinggal di sini semenjak kau lahir. Menyepi dengan malaikat sunyi.
Membangun dunia sendiri…”
Magnus
melepas pelukannya. Mata kanaknya basah. “Mengapa ayah sendiri? Meninggalkanku?
Meninggalkan Ibu?”
Mereka
saling memandang. Mata ayahnya bercahaya penuh cinta. Cinta yang tak
ditemukannya dalam sepasang mata ibunya. Magnus menghendaki apabila ia dewasa
kelak berparas seperti ayahnya. Begitu rupawan.
“Masa dewasamu akan mengungkap kehidupanku, Nak.”
Mereka
bercakap melalui mata yang tiada henti menukar kisah.
“Perlakuan ibu terhadapku sangat buruk, ayah. Sepertinya ibu tak
menginginkanku.”
Ayahnya
tersenyum penuh makna.
“Punggungku sering sampai merah dipukulnya,”
“Panggil saja para malaikat
sunyi dari jalan berkabut dengan hatimu, Nak. Tubuhmu tak akan merasakan sakit
ketika senjata ibumu mendera.”
“Ayah tahu tentang malaikat itu?”
Ayahnya
tersenyum kembali. “Mereka teman ayah.”
“Magnus!”
Magnus
menoleh ke arah teriakan itu. Paman Brata berjalan gegas. Keningnya berkilau
karena bercucur keringat. “Apa yang kau lakuan di tempat ini, Nak?” tanya Paman Brata setelah dekat,
nafasnya hampir putus.
“Ayah, Paman! Aku berbicara dengannya! “seru Magnus. Matanya bersinar.
Paman Brata yang berbadan agak gemuk menarik nafas. “Aku tidak melihat siapapun
di sini kecuali kau,’’ katanya terbata, “Kau tadi berbicara sendiri.”
Magnus
tertegun. Tidak percaya. Matanya berkeliling. Tidak ada ayahnya. Tidak tercium
wangi cempaka yang memenuhi udara. Hanya dia dan Paman Brata serta pepohonan
yang sekarang meliuk tertiup angin senja dari utara. “Lekas kita pulang.
Sebentar lagi hujan.”
“Tapi tadi ada ayah, Paman. Sungguh!”
Paman
Brata memandangnya. ”Kau
berbicara sendiri,” tegasnya
parau. Matanya sekarang memendari perbukitan dengan seksama. ”Banyak hal-hal tak
terpikirkan sering terjadi di sini ketika senja. Ini lembah arwah, Nak …”
***
Kutukan
demi kutukan yang memekakkan telinga meloncat dari bibir ibunya melihat Magnus
tiba ketika petang mulai menjalar. Apalagi dengan keranjang yang tidak penuh
berisi rumput. Ibunya tanpa sabar langsung mengambil senjatanya. Sapu itu
kembali menyalak garang pada Magnus.
“Anak biadab! Tak jera-jera kau kurajam! Petang begini kau baru
menampakkan diri di hadapanku.
Kau pasti bermain lagi dengan kupu-kupu laknat itu di bukit sana. Kubunuh kau,
anak sundal!”
Sapu
yang diarahkan ibunya siap menerkam! Magnus melempar keranjang rumputnya ke
pelataran. Hendak lari.
“Berani-beraninya
kau!”
Magnus
lari ke luar pelataran. Hatinya memanggil berulang kali para malaikat sunyi
dari jalan berkabut.
‘’Jangan kau menjejakkan kaki lagi di rumahku, anak sial! Sudah kupungut
kau dari parit kotor dan kurawat, kau banyak tingkah terhadapku. Pergi saja ke
neraka, anak sundal!”
Magnus
berlari menembus gelap.
***
Para
malaikat sunyi itu bisa kalian panggil dengan air mata. Air mata yang memang
kalian tetaskan dari hati. Ketika keperihan sudah tiada terbendung di dalam
raga, melangkahlah dalam sunyi. Utusan para malaikat sunyi itu akan datang menuntun kalian ke jalan
berkabut, kata Bu Guru.
Magnus masih menapakkan jejak di sepanjang jalan tanah yang basah. Mencari-cari jalan berkabut di kemuraman malam. Kelelawar-kelelawar terbang di atas kepalanya. Berputar-putar.
Komentar
Posting Komentar